Mana yang lebih menarik?
Gambar atas adalah bawaannya Windows7 berlokasi di United States America, sedangkan gambar kedua berlokasi di Desa Sarwana. Hanya saja, teknik fotografi di atas lebih bagus dibanding hasil jepretan saya 🙂
Mana yang lebih menarik?
Gambar atas adalah bawaannya Windows7 berlokasi di United States America, sedangkan gambar kedua berlokasi di Desa Sarwana. Hanya saja, teknik fotografi di atas lebih bagus dibanding hasil jepretan saya 🙂
Inilah tempat-tempat menarik di Sawarna, Jawa Barat:
Bagaimana cara mencapai Desa Sawarna? Perjalanan menuju Sawarna, dari Bayah ke Sawarna, dan di sini.
Sambungan
Kalau di lihat dari satelit, ternyata perjalanan saya benar-benar buleud (bulat), lihat gambar satelit yang saya capture melalui Google Earth. Perjalanan yang dimulai dari Jakarta, menuju Serang melalui jalan TOL Jakarta – Merak, berjarak kurang lebih 92,5 km dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam 12 menit. Sekedar catatan, jalan Tol ini memang aneh, namanya jalan Tol tetapi banyak sekali lobang-lobang dan di beberapa ruas jalan di tutup karena masih dalam perbaikan, sehingga jalan praktis hanya bias dilewati dalam satu baris kendaraan saja. Masih pantas disebut jalan TOL? Kayanya enggak dech!
Keluar pintu tol Serang, perjalanan kami lanjutkan menuju Saketi. Kenapa Saketi? Karena ketika tanya sama orang-orang yang ada di sana, untuk menuju Malimping, itu memang harus melalui Saketi. Jarak Serang – Saketi, adalah 43,8 km dengan waktu tempuh sekitar 51 menit. Di sini, kami sempatkan untuk mengisi BBM. Jalan-jalan di daerah sini kondisinya masih bagus, mulus.
Baru, selepas Saketi, perjalanan sudah mulai nggak jelas bentuk jalannya. Banyak kolam-kolam ikan di tengah jalan. Sebetulnya ada pembangunan jalan, tetapi sayangnya masih setengah-setengah. Maksudnya, jalan dibangun hanya ada dibeberapa titik saja. Jadi, jalan berhotmix, tetapi hanya ada di beberapa titik selebihnya adalah bolong-bolong hancur banget. Inilah perjalanan yang benar-benar mengambat mencapai Sawarna untuk tepat waktu sesuai dengan yang direncanakan.
Kerusakan jalan ini pun cukup panjang, mungkin sekitar 20 km-an. Tetapi setelah itu, jalan sudah bagus lagi, meskipun ada beberapa yang bolong ditengah-tengah, sehingga harus memperlambat laju kendaraan yang saya kemudikan. Jarak Saketi – Malimping adalah 53,7 km, di mana dalam kondisi normal seharusnya bias ditempuh sekitar 1 jam-an. Tetapi perjalanan ini saya tempuh sekitar 2 jam-an lebih. Sebaliknya kondisi Malimping – Bayah, jalannya sangat bagus dan mulus. Jarak yang hanya 40,6 km dapat ditempuh hanya dalam 45 menit saja.
Pulangnya, saya menggunakan rute lain, yaitu Sawarna – Pelabuhan Ratu – Bogor dan Jakarta. Jarak dan waktu tempuhnya adalah: Sawarna – Pelabuhan Ratu: 42,1 km dengan waktu tempuh 52 menit. Pelabuhan Ratu – Bogor = 78,8 km, 1 jam 33 menit, Bogor – Jakarta = 55,9 km, 48 menit.
Jadi, ditung-hitung lebih dekat melalui Pelabuhan Ratu, dan dengan waktu tempuh yang lebih singkat.
Baca juga yang ini:
Sawarna (26-27 Juni 2010)
Waktu 2 hari, memang tidak cukup untuk melihat seluruh keindahan Desa Sawarna yang saat ini sudah mulai menggeliat karena wisatanya. Kedatangan para turis, sepertinya sudah mulai sedikit merubah wajah desa terpencil tersebut. Terbukti dengan banyaknya usaha-usaha penggergajian kayu untuk pembuatan , kursi, meja, dsb. Kondisi ini sudah pasti akan memberi tekanan terhadap ekosistem hutan yang ada di kawasan tersebut.
Bunyi suara mesin gergaji sayup-sayup terdengar dari kejauhan, menunjukan sudah mulai banyaknya pohon-pohon yang ditebangi, yang notabene ini adalah kawasan hutan. Kedatangan turis, dipastikan, cepat atau lambat akan menghancurkan desa Sawarna jika tidak dikelola dengan arif dan bijaksana. Seluruh penduduk dan perangkat desa, perlu duduk bersama untuk mendiskusikan bagaimana mengembangkan daerahnya, tanpa harus merusak keindahan alam dan ekosistem di daerahnya.
Saran saya untuk penduduk Desa Sarwana, biarlah Sawarna tetap menjadi Paradise yang tetap hiden, jagalah keindahannya, pelihara dan perhatikan kondisi lingkungan serta dan ekosistem yang ada. Sehingga keindahan ini akan tetap dapat dikagumi oleh para penikmat keindahan alam, dan informasi ini akan terus mendengung ke seluruh dunia maya. Sehingga mereka akan tetap berbondong-bondong datang, dengan tanpa mengorbankan keberadaaan desa dan keindahan alamnya, sebagai Hidden Paradise.
Baca juga yang ini:
Sawarna (26-27 Juni 2010)
Sambungan
Untuk menuju Goa Lalay sendiri, dari homestaynya Pak Hudaya hanya butuh waktu sekitar 5 menit saja. Ketika ke sana, jalan menuju lokasi, belum bisa dilalui kendaraan bermotor, masih dalam proses pembangunan, yaitu menggunakan berbahan semen di plester. Sedangkan mobil masih tidak bisa melewati. Jadi kami parkirkan kendaraan hanya di depan rumah penduduk tak jauh dari jalan raya. Jarak dari jalan raya ke Goa Lalay kurang lebih 800 meteran. Di sepanjang jalan ada banyak penduduk yang menawarkan lampu petromak sekaligus menjadi guide kita menuju goa.
Sepanjang perjalanan kami melewati, pemukiman penduduk, perkebunan, jalan setapak, jembatan gantung, dan kuburan dan persawahan. Mulut goa itu ternyata sempit, tidak menyangka kalau yang dihadapan saya itu adalah goa, karena dari dalamnya mengalir aliran sungai yang debitnya cukup deras. Membawa anak-anak, cukup ragu juga jika harus masuk. Mengingat sungai nya cukup dalam, sekitar sepaha orang dewasa dan dasarnya berlumpur.
Ketika saya tanya ke anak-anak, apakah mereka berani masuk? Rupanya mereka ingin sekali masuk, kecuali Debby yang agak takut. Ujung gua ini menurut guide ternyata bisa tembus hingga 1 km. Lumayan jauh. Sehingga kami tetapkan untuk masuk, tetapi hanya setengah perjalanannya saja. Yang penting, anak-anak sudah bisa melihat dan mengenal stalaknit dan stalaktit, dan seperti apa gua itu. Dan apakah banyak keleawarnya?
Gua ini cukup gelap, sehingga jika tidak membawa patromak, sudah pasti, tidak akan ada yang bisa dilihat. Menyusuri kedalaman gua, ternyata cukup melelahkan, apalai sikecil ini maunya digendong, wah …
Bersambung
Baca juga yang ini:
Sawarna (26-27 Juni 2010)
Sambungan
Lokasi pertama yang akan kami kunjungi adalah Tanjung Layar. Tanjung Layar adalah ikon sekaligus kebanggaannya masyarakat Sawarna. Untuk menuju kesana, seharusnya bisa jalan kaki, walaupun cukup jauh, 1 km-an. Tetapi agar kedatangan kami punya nilai manfaat bagi masyarakat sekitar, saya pikir naik ojek sajalah. Lagian nyuruh anak-anak jalan, lumayan melelahkan. Harganya cukup mahal, Rp 20.000,- untuk pulang pergi. Dan ojek yang saya gunakan ada 3 motor. Apa yang disebut Tanjung Layar, ini sebetulnya adalah sisa-sisa abrasi pantai yang masih bertahan. Gempuran ombak yang terus menerus menyisakan 2 unggukan batu berbentuk seperti layar perahu. Tempatnya lumayan bagus, sangat cocok kalau bawa anak-anak main di sini, karena aman. Walaupun di laut, sangat aman untuk anak-anak, karena terlindung dari deburan ombak secara langsung. Airnya jernih, dan masih bersih. Hanya saja sayang di dasarnya banyak ditumbuhi rumput-rumput laut, sehingga kalau diinjak menjadi kurang nyaman untuk kaki. Walaupun demikian, anak-anak sangat menikmatinya.
Mungkin benar, kata sebuah informasi yang menyebut lokasi ini disebut-sebut hidden paradise, karena memang lokasinya sulit dijangkau. Untuk mencapainya, harus melalui jalan setapak, melewati jembatan gantung, melalui pemukiman penduduk, sawah, pantai Ciantir, dan sampailah di salah satu obyek wisata kebanggan penduduk di sini, Tanjung Layar. Pantai Ciantir sendiri, disebut sebut lokasi surfing terbaik. Dibuktikan adanya beberapa turis asing yang saya lihat. Tapi koq, orang kita kebanyakan malah jarang yang tahu daerah wisata di sini ya?
Karena memang bukan lokasi wisata, sehingga jangan tanya fasilitasnya.. Hanya ada 1 warung penjual makanan, tidak ada kamar bilas, yang ada hanya sebuah sumur dan timbaanya. Pantai Ciantir dengan Tanjung Layar lokasinya bersebelahan. Selesai bawa anak-anak cebar cebur di Tanjung Layar, kami susuri pantai hingga menuju para bule itu nongkrong dan surfing. Kayanya asyik banget.
Nggak lama disitu, kami pun kembali dengan menggunakan ojek yang tadi mengantar, untuk kembali ke tempat parkiran mobil, untuk selanjutnya ke Goa Lalay.
Bersambung
Baca juga yang ini:
Sawarna (26-27 Juni 2010)
Sambungan
Pagi-pagi, anak-anak sudah bangun. Pejalanan kami lanjutkan menuju Sawarna. Walaupun kecil, jalanannya sangat mulus, dan di hotmix. Walaupun sempat tersesat, karena semula saya pikir namanya Sarwana, yang tidak dikenal oleh penduduk sini. Yang benar adalah Sawarna. Perjalanan yang 21 km itu hanya kami tempuh sekitar 30 menit-an saja.
Sebagai catatan, dua kali saya salah jalan, kali ini, karena tidak ada petunjuk yang mengarah ke Sawarna. Jadi setelah 6-7 km dari Bayah, nanti akan ketemu percabangan, kalau lurus itu ke Cikotok, jadi harus ambil yang ke kanan.
Di sini banyak pemandangan yang bagus, persawahan, hutan jati, muara sungai, perahu-perahu nelayan, kemudian masuk kawasan hutan lindung, dan akhirnya Desa Sawarna. Dari ketinggian di atas bukit kami berdiri, terlihat hutan, sawah, perkebunan kelapa, pantai Ciantir dan Tanjung Layar. Sebuah perpaduan panorama yang indah, dan diiringi juga kicauan suara burung, khas suasana hutan. Membuat liburan kali ini sepertinya akan menyenangkan anak-anak.
Setelah melewati hutan suaka, kami tiba di Desa Sawarna. Ternyata cukup ramai juga. Kalau boleh dibilang, desa ini sebetulnya berada di daerah terpencil dipinggiran hutan. Tetapi aneh juga, walaupun terpencil, penduduknya cukup lumayan padat. Mata pencaharian penduduk kebanyakan adalah bertani dan nelayan. Sekolah juga tersedia, walaupun hanya SD, kalau SMP nya, saya tidak lihat. Ada juga tukang-tukang ojek di beberapa tempat titik wisata. Vila-vila dan home stay pun sudah mulai banyak dibangun. Jalan-jalan desa terlihat banyak dibangun dan diperbaiki.
Ada juga beberapa tempat usaha penggergajian kayu, menunjukkan hidupnya denyut nadi kehidupan masyarakat desa tersebut. Kami berhenti di depan homestaynya Almarhum Pak Hudaya. Nama ini sering disebut sebut di milis, tetapi rupanya orangnya sendiri ketika kami ke sini sudah almarhum.
Bersambung
Baca juga yang ini:
Sawarna (26-27 Juni 2010)