Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya.
Sembari menikmati acara Family Gathering yang diadakan di Kampung Air, saya sempatkan juga untuk melihat-lihat Bendungan Katulampa yang berjarak sekitar 200-an meter dari tempat kami menginap. Dari atas jembatan penyeberangan terlihat tulisan 1911, yang menunjukkan berdirinya bangunan tersebut. Semula bendungan ini adalah untuk keperluan irigasi di sisi kiri dan kanan bendungan tersebut, sekarang pun teteup. Tetapi kini juga dijadikan sebagai informasi dini untuk mengontrol debit air ke sungai Ciliwung yang mengalir sampai di Jakarta, sehingga dapat meminimalisir dampak yang ditimbulkan, akibat banjir.
Katulampa menjadi lokasi yang paling dikenal oleh sebagian besar penduduk ibukota, lebih khusus lagi penduduk bantaran sungai Ciliwung. Semua mata, telinga sambil berharap-harap cemas tertuju ke sana untuk mendapat informasi paling terbaru begitu musim hujan tiba.
Di bendungan, nampak terlihat ukuran kedalaman air dengan warna yang berbeda, yaitu: hijau, yang mencapai kedalaman 80 cm; biru, kedalaman hingga 150 cm; kuning, dengan kedalaman 200 cm, dan; merah, lebih dari 200 cm. Masing-masing batasan warna tersebut di beri sensor yang terhubung melalui kabel LAN, UTP lev 5 ke pusat data. Dari informasi inilah selanjutnya didistribusikan melalui SMS ke masyarakat.
Kabarnya, perangkat yang terpasang tersebut adalah hasil kolaborasi antara Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (DPSDA) dengan Nokia Siemens Networks (NSN). Perangkat terpasang terdiri dari peilschaal (alat ukur), analog digital converter, mobile monitoring, dan komputer.
Normalnya, ketinggian air ada pada posisi 50 cm. Siaga 1, jika ketinggian air di atas 200 cm, siaga 2 jika ketinggian air 150 – 200, siaga 3 jika ketinggian air 80 – 150 cm, siaga 4 jika ketinggian air berkisar antara 60-80 cm.
Dulu, sekitar tahun 1992-an saya sudah punya ide seperti ini, hanya saja, bukan berlokasi di Katulampa, melainkan jauh di hulunya sungai Ciluwung, tepatnya di daerah Tugu, Puncak. Di mana lebar sungai masih seukuran betis orang dewasa, hanya berupa solokan saja. Jadi untuk mengukurnya lebih mudah, karena tidak begitu dalam. Dan mengontrolnya pun gampang karena berada persis dibelakang sebuah rumah seorang teman. Debit air, kejernihan air dan kedalaman air, mudah dihitung.
Jika di Katulampa, ukurannya puluhan hingga ratusan sentimeter, maka di Tugu ukurannya hanya satuan sampai puluhan saja, jadi lebih terukur. Lalu dilakukan pengukuran juga di beberapa pos pengamatan (Bogor, Depok, dan Jakarta) hanya untuk membuat modelnya saja. Artinya, ketika di Tugu sekian senti meter, maka kedalaman air di Bogor sekian, di Depok sekian dan di Jakarta sekian. Sehingga selanjutnya sudah bisa dibuatkan modelnya.
Sayangnya gagal, tidak bisa saya lanjutkan karena kesibukan dengan pekerjaan. Padahal kalau itu dilanjutkan, kerugian akibat bencana banjir besar yang sudah terjadi dua kali di Jakarta mungkin bisa diminimalisir. Jauh sebelum dilakukannya optimisasi oleh Nokia Siemen Network. Tetapi kenapa Katulampa yang dijadikan lokasi pengukuran, bukankah semakin hulu semakin baik? Sehingga bisa dideteksi jauh lebih cepat?
Iklan
Desember 7th, 2011 at 1:35 pm
aku malah baru tahu dr postinganmu ini kalau penduduk ibukota pas musim hujan tiba berharap harap cemas nunggu informasi dari Katulampa
Desember 8th, 2011 at 9:36 am
Iya, betul Mbak, kalau siaga 1, sudah pasti mereka yg tinggal di sepanjang sungai Ciliwung harus mengungsi.
Desember 7th, 2011 at 3:01 pm
Bendung Katulampa menjadi bendung gerak air sungai Ciliwung. Mas Harjo sudah pernah melihat Bendung Gerak Air Sungai Serayu di Kebasen Banyumas? Sangat menakjubkan ukuran bendungannya. Lokasi dekat rel kereta api antara Stasiun KA Kebasen.
Desember 8th, 2011 at 9:37 am
Belum Mbak, mungkin kapan-kapan sy akan main ke Banyumas. Tks atas informasinya.
Desember 7th, 2011 at 3:13 pm
Rumah saya di Banyumas, dekat dengan bendung gerak serayu. 😀
Desember 8th, 2011 at 9:38 am
Oh orang Banyumas toh … hehehe mantab!
Desember 10th, 2011 at 5:21 am
[…] Katulampa […]
Agustus 29th, 2012 at 11:49 am
[…] Katulampa […]